GERAKAN LITERASI MADRASAH DAN MADRASAH LITERASI

Abad ke-21 dikenal sebagai abad informasi. Penamaan ini sejalan dengan karakteristik abad ke-21 yang ditandai dengan berkembangnya informasi secara cepat dan bersifat global. Perkembangan informasi tersebut didukung oleh berkembangnya teknologi komunikasi khususnya dalam bidang komputasi sehingga hampir semua kegiatan rutinitas manusia bersifat otomatis. Berkaitan dengan karakteristik ini, tuntutan terhadap kemampuan literasi semakin berkembang. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Morocco et al. (2008:5) bahwa dalam abad ke-21 ini, kemampuan terpenting yang harus dimiliki oleh manusia adalah kemampuan yang bersifat literasi. Kemampuan literasi ini ditandai dengan empat hal penting, yakni kemampuan pemahaman yang tinggi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berkolaborasi dan berkomunikasi.

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan kemampuan literasi, pengembangan kemampuan literasi siswa di sekolah pun mengalami pergeseran paradigma. Minimal ada empat kompetensi multiliterasi yang harus dikuasai siswa tersebut antara lain kemampuan membaca pemahaman yang tinggi, kemampuan menulis yang baik untuk membangun dan mengekspresikan makna, kemampuan berbicara secara akuntabel, serta kemampuan menguasai berbagai media digital yang berpengaruh. Lebih lanjut, Concannon-Gibney dan McCarthy (2012) menyatakan bahwa “…all stuents be provided with the problem-solving, communication and thinking skills that they will need to be effective workers and citizen in 21st century. Reading plays a key role in science achievement.” Berhubungan dengan kondisi ini, wajar jika pemerintah akhirnya mengubah kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013:1) memaparkan bahwa pengembangan kurikulum 2013 diharapkan dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif  melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Upaya ini sangat beralasan sejalan dengan kenyataan bahwa berbagai penelitian dan survey dilakukan oleh beberapa lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia pada urutan terendah, dalam bidang kemampuan literasi dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN sekalipun.

Dari survei Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan pada tahun 2011, siswa Indonesia masih menempati urutan bawah dibandingkan dengan negara lain yang diteliti (TIMSS dan PIRLS, 2012). Penilaian kemampuan membaca yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan hal yang sama, yakni Indonesia merupakan Negara dengan tingkat kemampuan membca yang rendah.